Zionisme’ berasal dari kata Ibrani “zion” yang artinya karang.
Maksudnya merujuk kepada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di atas
sebuah bukit karang bernama “Zion”, terletak di
sebelah barat-daya Al-Quds (Jerusalem).
Zionisme kini tidak lagi hanya memiliki makna keagamaan, tetapi kemudian telah beralih kepada makna politik, yaitu suatu gerakan pulangnya ‘diaspora’ (terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah-air bangsa Yahudi dengan Jerusalem sebagai ibukota negaranya. Istilah Zionisme dalam makna politik itu dicetuskan oleh Nathan Bernbaum, dan ‘Zionisme Internasional’ yang pertama berdiri di New York pada tanggal 1 Mei 1776, dua bulan sebelum kemerdekaan Amerika-Serikat dideklarasikan di Philadelphia.
Gagasan itu mendapatkan dukungan dari Kaisar Napoleon Bonaparte ketika ia merebut dan menduduki Mesir. Untuk memperoleh bantuan keuangan dari kaum Yahudi, Napoleon pada tanggal 20 April 1799 mengambil hati dengan menyerukan, “Wahai kaum Yahudi, mari membangun kembali kota Jerusalem lama”. Sejak itu gerakan untuk kembali ke Jerusalem menjadi marak dan meluas. Adalah Yahuda al-Kalai (1798-1878), tokoh Yahudi pertama yang melemparkan gagasan untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina. Gagasan itu didukung oleh Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui bukunya yang ditulis dalam bahasa Ibrani ‘Derishat Zion’ (1826), berisi studi tentang kemungkinan mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina.
Buku itu disusul oleh tulisan Moses Hess dalam bahasa Jerman, berjudul ‘Roma und Jerusalem’ (1862), yang memuat pemikiran tentang solusi “masalah Yahudi” di Eropa dengan cara mendorong migrasi orang Yahudi ke Palestina.
Perlu dicatat bahwa gerakan Zionisme mulai mendapatkan momentumnya berkat bantuan dana keuangan tanpa reserve dari Mayer Amschel Rothschilds (1743-1812) dari Frankfurt, pendiri dinasti Rothschilds, keluarga Yahudi paling kaya di dunia.
Pendukung kuat dari kalangan politisi Eropa terhadap gerakan Zionisme datang terutama dari Lloyd George (Perdana Menteri Inggris), Arthur Balfour (Menteri luar negeri Inggris), Herbert Sidebotham (tokoh militer Inggris), Mark Sykes, Alfred Milner, Ormsby-Gore, Robert Cecil, J.S.Smuts, dan Richard Meinerzhagen.
Gagasan tentang gerakan Zionisme, yaitu suatu gerakan politik untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, mulai memperlihatkan konsepnya yang jelas dalam buku ‘Der Judenstaat’ (1896) yang ditulis oleh seorang tokoh Yahudi, yang kemudian dipandang sebagai Bapak Zionisme, Theodore Herzl (1860-1904). Ia salah seorang tokoh besar Yahudi dan Bapak Pendiri Zionisme modern, barangkalai eksponen filosuf tentang eksistensi bangsa Yahudi yang memiliki pandangan paling jauh ke depan yang pernah dimiliki generasi Yahudi di sepanjang sejarah mereka. Ia tidak pernah ragu akan adanya “bangsa Yahudi”. Ia menyatakan tentang eksistensi itu pada setiap kesempatan yang ada. Katanya. “Kami adalah suatu bangsa – Satu Bangsa”.
Zionisme kini tidak lagi hanya memiliki makna keagamaan, tetapi kemudian telah beralih kepada makna politik, yaitu suatu gerakan pulangnya ‘diaspora’ (terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah-air bangsa Yahudi dengan Jerusalem sebagai ibukota negaranya. Istilah Zionisme dalam makna politik itu dicetuskan oleh Nathan Bernbaum, dan ‘Zionisme Internasional’ yang pertama berdiri di New York pada tanggal 1 Mei 1776, dua bulan sebelum kemerdekaan Amerika-Serikat dideklarasikan di Philadelphia.
Gagasan itu mendapatkan dukungan dari Kaisar Napoleon Bonaparte ketika ia merebut dan menduduki Mesir. Untuk memperoleh bantuan keuangan dari kaum Yahudi, Napoleon pada tanggal 20 April 1799 mengambil hati dengan menyerukan, “Wahai kaum Yahudi, mari membangun kembali kota Jerusalem lama”. Sejak itu gerakan untuk kembali ke Jerusalem menjadi marak dan meluas. Adalah Yahuda al-Kalai (1798-1878), tokoh Yahudi pertama yang melemparkan gagasan untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina. Gagasan itu didukung oleh Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui bukunya yang ditulis dalam bahasa Ibrani ‘Derishat Zion’ (1826), berisi studi tentang kemungkinan mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina.
Buku itu disusul oleh tulisan Moses Hess dalam bahasa Jerman, berjudul ‘Roma und Jerusalem’ (1862), yang memuat pemikiran tentang solusi “masalah Yahudi” di Eropa dengan cara mendorong migrasi orang Yahudi ke Palestina.
Perlu dicatat bahwa gerakan Zionisme mulai mendapatkan momentumnya berkat bantuan dana keuangan tanpa reserve dari Mayer Amschel Rothschilds (1743-1812) dari Frankfurt, pendiri dinasti Rothschilds, keluarga Yahudi paling kaya di dunia.
Pendukung kuat dari kalangan politisi Eropa terhadap gerakan Zionisme datang terutama dari Lloyd George (Perdana Menteri Inggris), Arthur Balfour (Menteri luar negeri Inggris), Herbert Sidebotham (tokoh militer Inggris), Mark Sykes, Alfred Milner, Ormsby-Gore, Robert Cecil, J.S.Smuts, dan Richard Meinerzhagen.
Gagasan tentang gerakan Zionisme, yaitu suatu gerakan politik untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, mulai memperlihatkan konsepnya yang jelas dalam buku ‘Der Judenstaat’ (1896) yang ditulis oleh seorang tokoh Yahudi, yang kemudian dipandang sebagai Bapak Zionisme, Theodore Herzl (1860-1904). Ia salah seorang tokoh besar Yahudi dan Bapak Pendiri Zionisme modern, barangkalai eksponen filosuf tentang eksistensi bangsa Yahudi yang memiliki pandangan paling jauh ke depan yang pernah dimiliki generasi Yahudi di sepanjang sejarah mereka. Ia tidak pernah ragu akan adanya “bangsa Yahudi”. Ia menyatakan tentang eksistensi itu pada setiap kesempatan yang ada. Katanya. “Kami adalah suatu bangsa – Satu Bangsa”.
(Diambil dari buku Zionisme : Gerakan Menaklukkan
Dunia. Halaman 1-6).
Hibbat Zion (Bhs. Ibrani “Cinta Zion”)
adalah ideologi dan gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kebangkitan
nasional bangsa Yahudi dan mendirikan negara Palestina. Pada abad XIX gerakan
ini berkembang pesat terutama di kalangan masyarakat Yahudi Eropa Timur (Rusia,
Polandia, Rumania). Pendukung Hibbat Zion
bergabung dengan Organisasi Zionis setelah organisasi ini didirikan oleh
Theodore Herzl. Namun sebagian di antara mereka tetap mempertahankan eksistensi
formalnya sampai dengan pecahnya Perang Dunia I.
AKAR-AKAR HIBBAT ZION
Gerakan Hibbat Zion menggali sebagian besar ideologinya dari nilai-nilai dasar tradisi Yahudi : perasaan dikucilkan, kerinduan akan datangnya masa pembebasan dan ikatan emosional keagamaan dan spiritual dengan tanah Palestina. Namun sebagian besar kelompok masyarakat Yahudi di Eropa Timur jarang terlibat dalam kegiatan sosial dan politik yang terorganisasi, dan para pemimpin agama mereka – dengan sedikit pengecualian – menentang ide Zionis dengan alasan kedatangan sang “Juru Selamat” (Messiah) tidak boleh dilakukan dengan usaha-udaha manusiawi (dehikat hakez) dan jika hal itu dilakukan dengan keterlibatan manusia, maka berarti mengingkari jalan Tuhan.
Masalah kebangkitan nasional Yahudi dan terutama sekali masalah emigrasi ke Palestina sering didiskusikan oleh individu yang mendapat motivasi adanya visi mesianik atau karena terpengaruh oleh gerakan kebangkitan nasional di antara bangsa-bangsa Eropa.
AKAR-AKAR HIBBAT ZION
Gerakan Hibbat Zion menggali sebagian besar ideologinya dari nilai-nilai dasar tradisi Yahudi : perasaan dikucilkan, kerinduan akan datangnya masa pembebasan dan ikatan emosional keagamaan dan spiritual dengan tanah Palestina. Namun sebagian besar kelompok masyarakat Yahudi di Eropa Timur jarang terlibat dalam kegiatan sosial dan politik yang terorganisasi, dan para pemimpin agama mereka – dengan sedikit pengecualian – menentang ide Zionis dengan alasan kedatangan sang “Juru Selamat” (Messiah) tidak boleh dilakukan dengan usaha-udaha manusiawi (dehikat hakez) dan jika hal itu dilakukan dengan keterlibatan manusia, maka berarti mengingkari jalan Tuhan.
Masalah kebangkitan nasional Yahudi dan terutama sekali masalah emigrasi ke Palestina sering didiskusikan oleh individu yang mendapat motivasi adanya visi mesianik atau karena terpengaruh oleh gerakan kebangkitan nasional di antara bangsa-bangsa Eropa.
Zevi Kalischer dan Judah Alkalai telah
mempromosikan gagasan untuk bermukim di Palestina antara tahun 1840an dan
1850an. Kalischer malahan sudah melakukan konsultasi dengan sejumlah Rabbi dan
wakil-wakil masyarakat Yahudi di Jerman di tahun 1860 dalam rangka mencari
dukungan untuk mewujudkan gagasannya itu. Tidak lama setelah pertemuan
tersebut, Chaim Lorje dari Frankfurt
mendirikan sebuah perusahaan Yahudi dengan tujuan mendirikan pemukiman di Tanah
Suci al-Quds (Yerusalem). Namun baik propaganda maupun kegiatan yang
dilakukannya ini tidak mempunyai pengaruh berarti di kalangan masyarakat.
Sedikit perhatian yang diperolehnya sama seperti yang diberikan kepada novel
karya Moses Hess “Roma and Jerusalem”
serta artikel David Gordon “Ha Maggid” yang pada intinya mendukung upaya
terwujudnya pemukiman Yahudi di Palestina. Ketika gerakan Hibbat Zion
didirikan, sector agamanya dipengaruhi oleh gagasan zionis dan apa yang
dilakukan oleh Alkalai dan Kalischer.
Perdebatan terbuka mengenai masalah nasionalisme Yahudi muncul pada akhir tahun 1860an dengan menguatnya kembali gerakan pembaruan keagamaaan di Jerman dan Hungaria. Gerakan ini menghimbau dilakukannya asimilasi nasional dan kebudayaan bangsa Yahudi, serta diakhirinya kebiasaaan mengaitkan masalah Zion dan Jerusalem dari buku doa, dan mendasarkan agama Yahudi pada “kebenaran abadinya” saja.
Peretz Smolenskin, penulis Ibrani terkemuka yang tinggal di Odessa dan meninggal di Wina pada tahun 1885, adalah salah seorang yang secara keras menentang imbauan tersebut, dengan mengecamnya dalam media bulanan Ha Shahar yang mulai diterbitkannya pada tahun 1868. Ia dengan tegas menempatkan bangsa Yahudi di antara-bangsa-bangsa yang menginginkan pembebasan nasional. Artikel penting Eliezer ben Yehuda “She’elah Nikhbadah” (Sebuah Pernyataan Penting) dan “Od Musar lo Lakahnu” (Kita tidak pernah belajar dari pengalaman kita) dalam bulanan Ha Shahar (1879) yang mengaitkan kebangkitan nasional di Palestina dengan kebangkitan bahasa Ibrani sebagai bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, merupakan sumbangan yang sangat penting terjadinya kristalisasi ideologi Hibbat Zion.
LATAR BELAKANG KELAHIRAN GERAKAN
Gerakan Hibbat Zion lahir ketika perkembangan yang terjadi di negara-negara Eropa Timur memaksa sejumlah besar orang Yahudi beremigrasi atau terpaksa meningkatkan kegiatan sosial dan politiknya. Pada waktu yang sama, para tokoh penganjur gerakan Pencerahan (Haskalah) menjadi ragu dengan apa yang selama ini mereka percayai, bahwa terdapat kemungkinan terjadinya asimilasi bangsa Yahudi dengan bangsa-bangsa Eropa dan mereka juga kecewa dalam perjuangannya untuk mendapatkan persamaan hak bagi bangsa Yahudi. Peristiwa menentukan dalam situasi ini ialah terjadinya progrom di Rusia menyusul terbunuhnya Tsar Alexander II (1881).
Aspirasi tulus para pendukung asimilasi (maskilim) dan sikap generasi muda Yahudi yang mulai merasa dekat dengan bangsa Rusia, tiba-tiba berhadapan dengan gelombang kebencian dan pemerintah (Rusia) dengan cepat menyatakan bahwa progroms (aksi kekerasan) tersebut merupakan reaksi rakyat terhadap eksploitasi yang dilakukan bangsa Yahudi. Tindakan pemerintah melakukan pembatasan yang sangat ketat terhadap sumber-sumber ekonomi, jabatan pemerintahan dan kesempatan untuk bisa memasuki lembaga pendidikan bagi warga Yahudi, mengakibatkan terjadinya krisis ideologi yang luar biasa bagi maskilim. Banya di antara mereka yang semula sudah jauh dari masyarakatnya mulai kembali lagi (misalnya dengan ikut hadir di Sinagog, ikut berpuasa dan lain-lain). Pihak lainnya yang semula menggantungkan harapannya dengan melakukan perjuangan untuk melakukan perubahan sosial mulai menyadari bahwa hal itu tidak akan secara otomatis menjawab Masalah Yahudi.
Di antara para tokoh Yahudi yang menjadi penganjur kebangkitan nasional juga mulai menyadari bahwa kebangkitan spiritual dan bahasa saja tidak cukup. Mereka harus mulai memikirkan tentang tanah air yang sungguh-sungguh dimiliki, di mana bangsa Yahudi tidak akan dianggap sebagai orang asing. Contohnya yang terjadi di Jerman pada tahun 1870an, gerakan anti Yahudi yang merajalela di mana-mana dianggap sebagai peringatan dan bukti bahwa baik kelompok asimilasi atau pun emansipasi tidak bisa menjamin status bangsa Yahudi di negara manapun yang mereka tempati. Para penulis Yahudi dan para maskilim mulai melakukan diskusi serius tentang adanya sikap anti Yahudi dan hal-hal yang menyebabkannya. Namun, saat itu waktunya tidak cocok hanya untuk mendiskusikan masalah ideology. Ribuan orang Yahudi dengan panik melarikan diri menerobos perbatasan negara, dan mengalami penderitaan berat di tempat pengungsian-nya, semakin menekankan dan mempercepat perlunya “solusi nasional”.
AWAL MULA GERAKAN
Sebagian besar pendapat yang berkembang di kalangan masyarakat Yahudi saat itu ialah satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan dan harus meninggalkan Rusia. Hanya sebagian kecil, terutama kelompok kaya dan keluarganya saja yang menentang gagasan beremigrasi itu. Banyak perkumpulan, terutama di kalangan generasi muda, dibentuk dengan tujuan tersebut. Namun mereka juga bertikai, karena ada yang mendukung beremigrasi ke Palestina yang akan dijadikan sebagai tempat pengungsian, dan ada yang ingin pergi ke Amerika Serikat.
Kelompok yang ingin beremigrasi ke Palestina disebut Hovevei Zion, dengan tokoh-tokohnya Moses Leib Lillienblum yang kemudian juga didukung oleh Peretz Smolenskin, Leo Levanda dan lain-lain. Jurnal Ha Shahar, Ha Maggid, Ha Meliz dan Razsvet (dalam bahasa Rusia) menjadi sarana penyebaran gagasan ideologi Hibbat Zion. Sebagian besar perkumpulan Hovevei Zion, terutama dari generasi muda maskilim mengajukan program nasional yang radikal. Perkumpulan mahasiswa Ahavat Zion yang didirikan pada tahun 1818 di St. Petersburg, menyatakan “setiap anak Israel yang mengakui bahwa tidak akan ada penyelamatan bagi Israel kecuali dengan mendirikan pemerintahan sendiri di tanah air Israel, dapat disebut sebagai anggota perkumpulan”. Sedangkan anggaran dasar perkumpulan Bilu menyebutkan: “Tujuan dari perkumpulan ini ialah kebangkitan bangsa Yahudi di bidang social-ekonomi dan nasional-spiritual di Syria dan Palestina”. Beberapa perkumpulan menekankan programnya pada aliyah (emigrasi) ke Palestina, sedang yang lainnya menekankan aspek persiapan dan mengkampanyekan konsep pemukiman di Palestina di antara masyarakat Yahudi. Semuanya menyetujui sarana yang akan digunakan guna mewujudkan pemukiman, termasuk misalnya bagaimana mendapatkan tanah (baik dengan cara hibah oleh pemerintah Turki, maupun dengan membeli) dan juga setuju dengan rencana pembentukan kelompok masyarakat petani dan seniman Yahudi di wilayah baru itu.
Masyarakat Yahudi Rumania tertarik dengan gagasan tinggal di Palestina itu. Sebab pemerintah Rumania menolak untuk memberikan persamaan hak warga negara bagi Yahudi, dan semakin banyak warga Yahudi yang dipersulit untuk mendapatkan sumber nafkahnya. Masalah inilah yang menyebabkan Yahudi Rumania hanya melihat emigrasi sebagai satu-satunya jalan yang harus dilalui. Pada akhir tahun 1881, terdapat 30 perkumpulan di Rumania yang bertujuan untuk mendirikan pemukiman di Palestina. Pada tanggal 11-12 Januari 1882, sebuah konferensi Hovevei Zion berlangsung di Foscani dan berhasil memilih pengurus Komite Sentral dengan markas besarnya di Galati.
(Diambil dari buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Zionisme karangan Prof. Jacob Katz & Friends. Halaman 37-41).
Perdebatan terbuka mengenai masalah nasionalisme Yahudi muncul pada akhir tahun 1860an dengan menguatnya kembali gerakan pembaruan keagamaaan di Jerman dan Hungaria. Gerakan ini menghimbau dilakukannya asimilasi nasional dan kebudayaan bangsa Yahudi, serta diakhirinya kebiasaaan mengaitkan masalah Zion dan Jerusalem dari buku doa, dan mendasarkan agama Yahudi pada “kebenaran abadinya” saja.
Peretz Smolenskin, penulis Ibrani terkemuka yang tinggal di Odessa dan meninggal di Wina pada tahun 1885, adalah salah seorang yang secara keras menentang imbauan tersebut, dengan mengecamnya dalam media bulanan Ha Shahar yang mulai diterbitkannya pada tahun 1868. Ia dengan tegas menempatkan bangsa Yahudi di antara-bangsa-bangsa yang menginginkan pembebasan nasional. Artikel penting Eliezer ben Yehuda “She’elah Nikhbadah” (Sebuah Pernyataan Penting) dan “Od Musar lo Lakahnu” (Kita tidak pernah belajar dari pengalaman kita) dalam bulanan Ha Shahar (1879) yang mengaitkan kebangkitan nasional di Palestina dengan kebangkitan bahasa Ibrani sebagai bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, merupakan sumbangan yang sangat penting terjadinya kristalisasi ideologi Hibbat Zion.
LATAR BELAKANG KELAHIRAN GERAKAN
Gerakan Hibbat Zion lahir ketika perkembangan yang terjadi di negara-negara Eropa Timur memaksa sejumlah besar orang Yahudi beremigrasi atau terpaksa meningkatkan kegiatan sosial dan politiknya. Pada waktu yang sama, para tokoh penganjur gerakan Pencerahan (Haskalah) menjadi ragu dengan apa yang selama ini mereka percayai, bahwa terdapat kemungkinan terjadinya asimilasi bangsa Yahudi dengan bangsa-bangsa Eropa dan mereka juga kecewa dalam perjuangannya untuk mendapatkan persamaan hak bagi bangsa Yahudi. Peristiwa menentukan dalam situasi ini ialah terjadinya progrom di Rusia menyusul terbunuhnya Tsar Alexander II (1881).
Aspirasi tulus para pendukung asimilasi (maskilim) dan sikap generasi muda Yahudi yang mulai merasa dekat dengan bangsa Rusia, tiba-tiba berhadapan dengan gelombang kebencian dan pemerintah (Rusia) dengan cepat menyatakan bahwa progroms (aksi kekerasan) tersebut merupakan reaksi rakyat terhadap eksploitasi yang dilakukan bangsa Yahudi. Tindakan pemerintah melakukan pembatasan yang sangat ketat terhadap sumber-sumber ekonomi, jabatan pemerintahan dan kesempatan untuk bisa memasuki lembaga pendidikan bagi warga Yahudi, mengakibatkan terjadinya krisis ideologi yang luar biasa bagi maskilim. Banya di antara mereka yang semula sudah jauh dari masyarakatnya mulai kembali lagi (misalnya dengan ikut hadir di Sinagog, ikut berpuasa dan lain-lain). Pihak lainnya yang semula menggantungkan harapannya dengan melakukan perjuangan untuk melakukan perubahan sosial mulai menyadari bahwa hal itu tidak akan secara otomatis menjawab Masalah Yahudi.
Di antara para tokoh Yahudi yang menjadi penganjur kebangkitan nasional juga mulai menyadari bahwa kebangkitan spiritual dan bahasa saja tidak cukup. Mereka harus mulai memikirkan tentang tanah air yang sungguh-sungguh dimiliki, di mana bangsa Yahudi tidak akan dianggap sebagai orang asing. Contohnya yang terjadi di Jerman pada tahun 1870an, gerakan anti Yahudi yang merajalela di mana-mana dianggap sebagai peringatan dan bukti bahwa baik kelompok asimilasi atau pun emansipasi tidak bisa menjamin status bangsa Yahudi di negara manapun yang mereka tempati. Para penulis Yahudi dan para maskilim mulai melakukan diskusi serius tentang adanya sikap anti Yahudi dan hal-hal yang menyebabkannya. Namun, saat itu waktunya tidak cocok hanya untuk mendiskusikan masalah ideology. Ribuan orang Yahudi dengan panik melarikan diri menerobos perbatasan negara, dan mengalami penderitaan berat di tempat pengungsian-nya, semakin menekankan dan mempercepat perlunya “solusi nasional”.
AWAL MULA GERAKAN
Sebagian besar pendapat yang berkembang di kalangan masyarakat Yahudi saat itu ialah satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan dan harus meninggalkan Rusia. Hanya sebagian kecil, terutama kelompok kaya dan keluarganya saja yang menentang gagasan beremigrasi itu. Banyak perkumpulan, terutama di kalangan generasi muda, dibentuk dengan tujuan tersebut. Namun mereka juga bertikai, karena ada yang mendukung beremigrasi ke Palestina yang akan dijadikan sebagai tempat pengungsian, dan ada yang ingin pergi ke Amerika Serikat.
Kelompok yang ingin beremigrasi ke Palestina disebut Hovevei Zion, dengan tokoh-tokohnya Moses Leib Lillienblum yang kemudian juga didukung oleh Peretz Smolenskin, Leo Levanda dan lain-lain. Jurnal Ha Shahar, Ha Maggid, Ha Meliz dan Razsvet (dalam bahasa Rusia) menjadi sarana penyebaran gagasan ideologi Hibbat Zion. Sebagian besar perkumpulan Hovevei Zion, terutama dari generasi muda maskilim mengajukan program nasional yang radikal. Perkumpulan mahasiswa Ahavat Zion yang didirikan pada tahun 1818 di St. Petersburg, menyatakan “setiap anak Israel yang mengakui bahwa tidak akan ada penyelamatan bagi Israel kecuali dengan mendirikan pemerintahan sendiri di tanah air Israel, dapat disebut sebagai anggota perkumpulan”. Sedangkan anggaran dasar perkumpulan Bilu menyebutkan: “Tujuan dari perkumpulan ini ialah kebangkitan bangsa Yahudi di bidang social-ekonomi dan nasional-spiritual di Syria dan Palestina”. Beberapa perkumpulan menekankan programnya pada aliyah (emigrasi) ke Palestina, sedang yang lainnya menekankan aspek persiapan dan mengkampanyekan konsep pemukiman di Palestina di antara masyarakat Yahudi. Semuanya menyetujui sarana yang akan digunakan guna mewujudkan pemukiman, termasuk misalnya bagaimana mendapatkan tanah (baik dengan cara hibah oleh pemerintah Turki, maupun dengan membeli) dan juga setuju dengan rencana pembentukan kelompok masyarakat petani dan seniman Yahudi di wilayah baru itu.
Masyarakat Yahudi Rumania tertarik dengan gagasan tinggal di Palestina itu. Sebab pemerintah Rumania menolak untuk memberikan persamaan hak warga negara bagi Yahudi, dan semakin banyak warga Yahudi yang dipersulit untuk mendapatkan sumber nafkahnya. Masalah inilah yang menyebabkan Yahudi Rumania hanya melihat emigrasi sebagai satu-satunya jalan yang harus dilalui. Pada akhir tahun 1881, terdapat 30 perkumpulan di Rumania yang bertujuan untuk mendirikan pemukiman di Palestina. Pada tanggal 11-12 Januari 1882, sebuah konferensi Hovevei Zion berlangsung di Foscani dan berhasil memilih pengurus Komite Sentral dengan markas besarnya di Galati.
(Diambil dari buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Zionisme karangan Prof. Jacob Katz & Friends. Halaman 37-41).
HARUS DIBEDAKAN antara zionisme yang
dipelopori oleh Amschel Mayer Rothschild dgn 12 tokoh terkemuka Yahudi di tahun
1773 dengan zionisme or berkumpulnya kembali anak2 Israel seperti janji Yahweh
dalam Alkitab.
Keduanya memiliki dasar yang sama namu TUJUAN yang JELAS BERBEDA!!!
Dasar tersebut adalah sebuah KEBENARAN YANG TIDAK BISA DIGANGGU GUGAT karena merupakan JANJI ALLAH kepada UMAT PILIHANNYA.
Janji tersebut berawal ketika Allah menjanjikan kepada Abraham bahwa keturunan Ishak akan menjadi bangsa pilihannya bahkan ada sesuatu yg signifikan yg dikatakan Tuhan pada Abraham yaitu : " Aku akan memberkati bangsa yang memberkatimu dan mengutuk bangsa yang mengutukmu ".
Kemudian janji itu diteruskan lagi ketika Yakub-anak Ishak - cucu Abraham diberikan penglihatan bahwa keturunannya akan menjadi bangsa pilihan Tuhan dan namanya diganti menjadi Israel.
Kemudian kepada Musa dijanjikan bahwa bangsa Israel akan keluar dari perbudakan di Mesir dan mewarisi tanah perjanjian diseberang sungai Yordan yg merupakan wilayah Palestina sekarang ini.
Keduanya memiliki dasar yang sama namu TUJUAN yang JELAS BERBEDA!!!
Dasar tersebut adalah sebuah KEBENARAN YANG TIDAK BISA DIGANGGU GUGAT karena merupakan JANJI ALLAH kepada UMAT PILIHANNYA.
Janji tersebut berawal ketika Allah menjanjikan kepada Abraham bahwa keturunan Ishak akan menjadi bangsa pilihannya bahkan ada sesuatu yg signifikan yg dikatakan Tuhan pada Abraham yaitu : " Aku akan memberkati bangsa yang memberkatimu dan mengutuk bangsa yang mengutukmu ".
Kemudian janji itu diteruskan lagi ketika Yakub-anak Ishak - cucu Abraham diberikan penglihatan bahwa keturunannya akan menjadi bangsa pilihan Tuhan dan namanya diganti menjadi Israel.
Kemudian kepada Musa dijanjikan bahwa bangsa Israel akan keluar dari perbudakan di Mesir dan mewarisi tanah perjanjian diseberang sungai Yordan yg merupakan wilayah Palestina sekarang ini.
Setelah diaspora terakhir yaitu ketika Jendral Titus mengancurkan Bait Allah kedua dan membantai pemberontak Yahudi kira2 70M, maka orang2 Yahudi hidup tercerai-berai dan menjadi warga negara kelas dua di tempat2 pelarian mereka.
Kerajaan2 silih berganti memerintah tanah perjanjian mereka hingga kemerdekaan mereka di thn 1948.
Orang Yahudi hidup dalam pengharapan akan janji Tuhan bahwa mereka akan dikumpulkan kembali di tanah perjanjian. Dalam Alkitab jelas tertulis bahwa Tuhan akan mengumpulkan kembali anak2 Israel di kota Daud (Jerusalem).
Tuhan mengumpulkan mereka dengan satu tujuan yaitu memisahkan bangsa terpilih dengan yang tidak terpilih menjelang Armagedon - perang antara Sang pewaris tahta Allah dgn Iblis dan pengikut2nya.
Tentunya Iblis dan para kolaboratornya berusaha merebut klaim suci tersebut.
Apa lagi yg dapat merebut kepercayaan orang selain janji Tuhan itu sendiri.
Oleh karena itu, Ibli dan kaum kolaboratornya berusaha merebut arah rencana Tuhan dengan 'Merealisasikan janji Tuhan' dengan cara mereka sendiri yaitu dgn mendirikaan gerakan Zionisme dengan tujuan 'mulia' yaitu mendirikan negara Israel merdeka!!!
Disini kebenaran disesatkan dan para kolaborator sesat itu mencuri arah rencana Tuhan.
Dengan melancarkan kampaye Zionisme mereka mendapat legalisasi sebagai pemimpin bangsa Yahudi di seluruh dunia yang seperti mendapatkan pemimpin atau 'Musa' baru dalam merebut tanah perjanjian mereka.
Kelicikan kaum Zionis tersebut kemudian dgn bekerja sama dgn kolaborator2 lainnya seperti Freemason dan Illuminati berusaha mempersiapkan jalan bagi Sang Jahat untuk pertempuran terakhir melawan Anak Domba Allah atau Sang Pewaris Tahta Surga Di Armagedon. Mereka percaya bahwa MEREKA AKAN MENGUASAI POLITIK EKONOMI DAN AGAMA.
FREEMASON adalah kumpulan para 'keturunan' raja dan pewaris dinasti Merovingian yaitu dinasti pertama Eropa yg mengklaim sebagai keturunan darah daging Kristus dan Maria Magdalena. Mereka adalah kaum militeristis dan Industrialis yg menguasai panggung politik dan militer dunia.
Illuminati adalah kaum bankir dan para ekonomis dunia yg diwakili orang dinasti Yahudi untuk menjajah dunia lewat perkeonomian. IMF, World Bank dan Federal Reserve adalah instrumen utam mereka.
Gerakan Zionisme adalah gerakan untuk 'melegalisasi' penguasaan tanah perjanjian khususnya Jerusalem kerana dalam Alkitab dikatakan bahwa Sang pewaris Tahta Allah akan bertahta di Yerusalem.
Hal tersebut melengkapi dominasi para globalis untuk mewujudkan 'NEW WORLD ORDER" yaitu satu Orde dunia dibawah satu pemerintahan, satu sisitim ekonomi, dan satu sisitim kepercayaan dengan messiah atau juruselamat yg akan mereka install secara rekayasa.
Parameter berkumpulnya orang Yahudi ke tanah Perjanjian masih tidak bisa dianggap rampung karena kaum yahudi yg ada sekarang hanyalah keturunan 2 suku terakhir yg lari dimasa penganiayaan Jendral Titus, yaitu keturunan Yehuda dan Lewi sedangkan 12 suku masih 'hilang' sejak mereka terusir dari Palestina dimasa penyerbuan Babel pertama.
Jadi selama The Lost Tribes of Israel belum kembali ke tanah mereka maka parameter berkumpulnya keturunan Yakub bisa dijadikan pegangan datangnya Armagedon.
Kebiadaban Zionis semakin menonjol. Pada pembantaian Deir Yasin yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi bawah tanah Zionis Revisionis “kanan”, IZL dan Lehi, seperti pembantaian yang terjadi dalam skala yang sama di seluruh negeri. Pembantaian di Duema pada 1948 dilakukan oleh pasukan resmi Israel Zionis Pekerja, angkatan bersenjata pertahanan Israel (Tzeva hagana le-Israel atau ZAHAL). Catatan pembantaian itu digambarkan oleh serdadu yang ikut serta dalam kebiadaban tersebut, dimuat pada Davar, Surat kabar harian resmi berbahasa Ibrani milik Zionis Pekerja yang megelolah Federasi Umum Histadrut dari para Pekerja :
“… Mereka membunuh antara delapan puluh sampai seratus laki-laki, wanita dan anak-anak Arab. Untuk membunuh anak-anak, mereka (para tentara) memecahkan kepalanya dengan tongkat. Tidak ada satu pun rumah tanpa mayat. Pria dan wanita desa tersebut dijebloskan ke rumah-rumah tanpa makanan dan air, kemudian para penyabot datang untuk meledakkan mereka.”
“Seorang komandan memerintahkan seorang prajurit untuk membawa dua wanita ke dalam sebuah bangunan yang akan dia ledakkan … serdadu lainnya berbangga diri karena memperkosa seorang wanita Arab sebelum menembaknya sampai mati. Seorang wanita Arab lainnya dengan bayinya yang baru lahir, dipaksa membersihkan tempat tersebut selama dua hari., kemudian mereka menembaknya bersama bayinya. Para komandan yang berpendidikan dan bertingkah baik yang dipandang ‘orang baik’ … telah menjadi para pembunuh buas, dab hal ini bukan di tengah badai pertempuran, tetapi sebagai cara pengusiran dan pemusnahan. Semakin sedikit orang Arab yang tinggal, berarti semakin baik.”
Nilai strategis dari pembantaian Deir Yasin akan dikemukakan selama bertahun-tahun oleh para pemimpin Zionis seperti Eldad (Scheib) yang – bersama Yitzhak Shamir dan Nathan, Yalin Mor (Feldmann) – yang bertanggung jawab pada Lehi, berbicara pada pertemuan di bulan Juli 1967. Pernyataannya dipublikasikan pada jurnal opini yang terkenal, De’ot, pada musim semi 1968 :
“Saya selalu mengatakan bahwa jika harapan terdalam dan terkuat yang menyimbolkan penebusan adalah dengan membangun lembah kuil (Sulaiman) … maka jelaslah bahwa masjid-masjid ini (al-Haram al-Syarif dan al-Aqsha), dengan satu cara atau lainnya, harus dilenyapkan. Pada masa ini … seandainya bukan karena Deir Yasin, pastilah setengah juta orang Arab akan tinggal di negara Israel (pada 1948). Negara Israel pastilah tidak akan ada. Kita tidak boleh mengabaikan hal ini, dengan penuh kesadaran kita harus terlibat dalam tanggung jawab. Semua peperangan adalah kejam. Tidak ada jalan keluar dari hal ini. Negeri ini akan menjadi Erezt Israel dengan mayoritas Yahudi secara mutlak dan sebuah minoritas Arab, atau menjadi Erezt Ismail, dan emigrasi Yahudi akan kembali dimulai jika kita tidak mengusir orang-orang Arab dengan satu cara atau lainnya …”
(Diambil dari buku Sisi Gelap Zionisme karangan Ralph Schoenman. Halaman 65-66).
Perdana menteri Moshe Sharett (1954-1955)
memberikan penilaian tentang pembantaian di desa Kibya pada tahun 1953 (18
Oktober 1953). Ariel Sharon secara pribadi memimpin aksi tersebut dimana
laki-laki, wanita dan anak-anak dijagal di rumah-rumah mereka.
“(Dalam pertemuan kabinet) saya mengecam peristiwa Kibya yang telah menempatkan kita di depan seluruh dunia sebagai gerombolan haus darah yang tega melakukan pembantain-pembantaian … Saya peringatkan bahwa noda ini selalu menempel pada tubuh kita dan tidak akan bisa dicuci selama bertahun-tahun mendatang.”
“Diputuskan bahwa sebuah komunike tentang Kibya akan dipublikasikan dan Ben Gurion harus menulisnya. Ini benar-benar tindakan memalukan. Saya menyelidiki beberapa kali dan setiap kali saya diyakinkan dengan sungguh-sungguh bahwa orang-orang tidak bisa memahami bagaimana tindakan keji ini dilakukan.”
Dalam buku lainnya, Sharett mencatat perincian pembantaian berikutnya di desa-desa palestina pada 1955 :
“Pendapat umum, pasukan dan polisi Israel telah menyimpulkan bahwa darah Arab secara bebas bisa ditumpahkan. Tindakan ini pastilah menjadikan negara di mata dunia tampak sebagai negara biadab.”
(Diambil dari buku Sisi Gelap Zionisme karangan Ralph Schoenman. Halaman 67-68).
“(Dalam pertemuan kabinet) saya mengecam peristiwa Kibya yang telah menempatkan kita di depan seluruh dunia sebagai gerombolan haus darah yang tega melakukan pembantain-pembantaian … Saya peringatkan bahwa noda ini selalu menempel pada tubuh kita dan tidak akan bisa dicuci selama bertahun-tahun mendatang.”
“Diputuskan bahwa sebuah komunike tentang Kibya akan dipublikasikan dan Ben Gurion harus menulisnya. Ini benar-benar tindakan memalukan. Saya menyelidiki beberapa kali dan setiap kali saya diyakinkan dengan sungguh-sungguh bahwa orang-orang tidak bisa memahami bagaimana tindakan keji ini dilakukan.”
Dalam buku lainnya, Sharett mencatat perincian pembantaian berikutnya di desa-desa palestina pada 1955 :
“Pendapat umum, pasukan dan polisi Israel telah menyimpulkan bahwa darah Arab secara bebas bisa ditumpahkan. Tindakan ini pastilah menjadikan negara di mata dunia tampak sebagai negara biadab.”
(Diambil dari buku Sisi Gelap Zionisme karangan Ralph Schoenman. Halaman 67-68).
Pada bulan Oktober 1956, Brigader Israel
Shadmi, komandan battalion perbatasan Israel-Yordan, memberlakukan jam malam
yang dikenakan pada desa-desa minoritas Arab di bawah pimpinannya. Desa-desa
itu berada dalam perbatasan Israel,
dengan demikian dipandang sebagai warga negara Israel. Shadmi mengatakan kepada
komandan kesatuan penjaga perbatasan, mayor Melinki, bahwa pemberlakuan jam
malam harus “sangat ekstrim” dan “tidak cukup hanya menangkap mereka yang
melanggarnya – mereka harus ditembak.” Dia menambahkan : “Sebuah mayat lebih
baik daripada menangani keruwetan penahanan.”
“Dia (Melinki) memberitahukan kepada para perwira bahwa … tugas mereka adalah untuk memaksakan jam malam pada desa-desa minoritas dari jam 17.00 sampai 06.00 … Setiap orang yang meninggalkan rumahnya, atau siapa saja yang melanggar jam malam harus ditembak mati. Dia menambahkan, tidak perlu ada penangkapan dan jika sejumlah orang dibunuh pada malam hari, maka hal ini memudahkan penerapan jam malam pada malam berikutnya.
“Letnan Frankanthal bertanya kepadanya, “Apa yang harus kami lakukan dengan orang yang terluka?” Melinki menjawab, “Jangan hiraukan mereka.”
“Seorang pemimpin seksi kemudian bertanya, “Bagaimana dengan wanita dan anak-anak?” Untuk pertanyaan ini Melinki menjawab, “Tidak boleh ada rasa kasihan.” Ketika ditanya, “Bagaimana dengan orang-orang yang kembali dari kerjanya?” Melinki menjawab, “Hal ini akan menjadi nasib buruk bagi mereka, sebagaimana yang diucapkan oleh komandan.”
Para pelaku pembantaian Kafr Qasim tersebut – sebuah kesatuan komando dari Ariel Sharon (kesatuan komando 101) – semuanya diberi medali dan dipromosikan pada angkatan bersenjata pertahanan Israel (IDF).
Cara-cara pemusnahan etnis (genocide) yang dipakai untuk memaksakan negara pemukim kolonial di dalam perbatasan Israel pra – 1967 dipandang sebagai model penyelesaian puncak terhadap orang-orang Palestina pada wilayah pendudukan post-1967. Aharon Yariv, mantan kepala intelijen militer dan menteri penerangan, menyatakan dalam sebuah seminar umum di Institut Leonard Davis jurusan hubungan internasional pada Universitas Hebrew di Jerusalem bahwa :
“Terdapat pandangan yang mendukung agar sebuah situasi perang dipergunakan dalam rangka mengasingkan 700.000 sampai 800.000 orang Arab. Pandangan ini tersebar luas, dan pernyataan telah dikemukakan mengenai persoalan ini dan alat-alatnya telah dipersiapkan.”
(Diambil dari buku Sisi Gelap Zionisme karangan Ralph Schoenman. Halaman 68-69).
“Dia (Melinki) memberitahukan kepada para perwira bahwa … tugas mereka adalah untuk memaksakan jam malam pada desa-desa minoritas dari jam 17.00 sampai 06.00 … Setiap orang yang meninggalkan rumahnya, atau siapa saja yang melanggar jam malam harus ditembak mati. Dia menambahkan, tidak perlu ada penangkapan dan jika sejumlah orang dibunuh pada malam hari, maka hal ini memudahkan penerapan jam malam pada malam berikutnya.
“Letnan Frankanthal bertanya kepadanya, “Apa yang harus kami lakukan dengan orang yang terluka?” Melinki menjawab, “Jangan hiraukan mereka.”
“Seorang pemimpin seksi kemudian bertanya, “Bagaimana dengan wanita dan anak-anak?” Untuk pertanyaan ini Melinki menjawab, “Tidak boleh ada rasa kasihan.” Ketika ditanya, “Bagaimana dengan orang-orang yang kembali dari kerjanya?” Melinki menjawab, “Hal ini akan menjadi nasib buruk bagi mereka, sebagaimana yang diucapkan oleh komandan.”
Para pelaku pembantaian Kafr Qasim tersebut – sebuah kesatuan komando dari Ariel Sharon (kesatuan komando 101) – semuanya diberi medali dan dipromosikan pada angkatan bersenjata pertahanan Israel (IDF).
Cara-cara pemusnahan etnis (genocide) yang dipakai untuk memaksakan negara pemukim kolonial di dalam perbatasan Israel pra – 1967 dipandang sebagai model penyelesaian puncak terhadap orang-orang Palestina pada wilayah pendudukan post-1967. Aharon Yariv, mantan kepala intelijen militer dan menteri penerangan, menyatakan dalam sebuah seminar umum di Institut Leonard Davis jurusan hubungan internasional pada Universitas Hebrew di Jerusalem bahwa :
“Terdapat pandangan yang mendukung agar sebuah situasi perang dipergunakan dalam rangka mengasingkan 700.000 sampai 800.000 orang Arab. Pandangan ini tersebar luas, dan pernyataan telah dikemukakan mengenai persoalan ini dan alat-alatnya telah dipersiapkan.”
(Diambil dari buku Sisi Gelap Zionisme karangan Ralph Schoenman. Halaman 68-69).
Joseph C. Harsh di The Christian Science
Monitor pada 5 Agustus 1982 bercerita :
“Beberapa negara telah bergantung pada negara lain sebagaimana Israel pada Amerika Serikat. Senjata-senjata besar Israel berasal dari Amerika – baik sebagai pemberian atau pinjaman jangkan panjang, pinjaman dengan bunga rendah, dan hanya sedikit yang secara serius diharapkan untuk dikembalikan.”
“Survival Israel ditentukan dan disubsidi dari Washington. Tanpa senjata Amerika, Israel pasti akan kehilangan keuntungan kuantitatif dan kualitatif yang telah dijanjikan oleh presiden Reagan untuk mempertahankan mereka. Tanpa subsidi ekonomi, kredit Israel akan lenyap dan ekonominya akan runtuh.”
“Dengan kata lain, Israel hanya bisa melakukan apa yang diizinkan Washington untuk melakukannya. Israel tidak akan berani melakukan sesuatu operasi militer tanpa persetujuan diam-diam Washington. Kerika Israel melakukan suatu serangan militer, dunia menduga secara tepat bahwa tindakan itu telah disetujui oleh Washington secara diam-diam.”
Negara Israel tidak identik dengan Yahudi sebagai bangsa. Dalam pandangan sejarah, Zionisme adalah ideologi minoritas di kalangan orang Yahudi.
“Beberapa negara telah bergantung pada negara lain sebagaimana Israel pada Amerika Serikat. Senjata-senjata besar Israel berasal dari Amerika – baik sebagai pemberian atau pinjaman jangkan panjang, pinjaman dengan bunga rendah, dan hanya sedikit yang secara serius diharapkan untuk dikembalikan.”
“Survival Israel ditentukan dan disubsidi dari Washington. Tanpa senjata Amerika, Israel pasti akan kehilangan keuntungan kuantitatif dan kualitatif yang telah dijanjikan oleh presiden Reagan untuk mempertahankan mereka. Tanpa subsidi ekonomi, kredit Israel akan lenyap dan ekonominya akan runtuh.”
“Dengan kata lain, Israel hanya bisa melakukan apa yang diizinkan Washington untuk melakukannya. Israel tidak akan berani melakukan sesuatu operasi militer tanpa persetujuan diam-diam Washington. Kerika Israel melakukan suatu serangan militer, dunia menduga secara tepat bahwa tindakan itu telah disetujui oleh Washington secara diam-diam.”
Negara Israel tidak identik dengan Yahudi sebagai bangsa. Dalam pandangan sejarah, Zionisme adalah ideologi minoritas di kalangan orang Yahudi.
Musim panas tahun 1982 menjadi saksi atas
kebiadaban luar biasa yang menyebabkan seluruh dunia berteriak dan mengutuknya
dengan keras. Tentara Isrel memasuki wilayah Lebanon dalam suatu serbuan
mendadak, dan bergerak maju sambil menghancurkan sasaran apa saja yang nampak
di hadapan mereka. Pasukan Israel
ini mengepung kamp-kamp pengungsi yang dihuni warga Palestina yang telah
melarikan diri akibat pengusiran dan pendudukan oleh Israel beberapa tahun sebelumnya.
Selama dua hari, tentara Israel
ini mengerahkan milisi Kristen Lebanon untuk membantai penduduk sipil tak
berdosa tersebut. Dalam beberapa hari saja, ribuan nyawa tak berdosa telah
terbantai.
Terorisme biadab bangsa Israel ini telah membuat marah seluruh masyarakat dunia. Tapi, yang menarik adalah sejumlah kecaman tersebut justru datang dari kalangan Yahudi, bahkan Yahudi Israel sendiri. Profesor Benjamin Cohen dari Tel Aviv University menulis sebuah pernyataan pada tanggal 6 Juni 1982:
Saya menulis kepada anda sambil mendengarkan radio transistor yang baru saja mengumumkan bahwa ‘kita’ sedang dalam proses ‘pencapaian tujuan-tujuan kita’ di Lebanon: yakni untuk menciptakan ‘kedamaian’ bagi penduduk Galilee.
Terorisme biadab bangsa Israel ini telah membuat marah seluruh masyarakat dunia. Tapi, yang menarik adalah sejumlah kecaman tersebut justru datang dari kalangan Yahudi, bahkan Yahudi Israel sendiri. Profesor Benjamin Cohen dari Tel Aviv University menulis sebuah pernyataan pada tanggal 6 Juni 1982:
Saya menulis kepada anda sambil mendengarkan radio transistor yang baru saja mengumumkan bahwa ‘kita’ sedang dalam proses ‘pencapaian tujuan-tujuan kita’ di Lebanon: yakni untuk menciptakan ‘kedamaian’ bagi penduduk Galilee.
Kebohongan ini sungguh membuat saya marah.
Sudah jelas bahwa ini adalah peperangan biadab, lebih kejam dari yang pernah
ada sebelumnya, tidak ada kaitannya dengan upaya yang sedang dilakukan di London atau keamanan di Galilee…Yahudi,
keturunan Ibrahim…. Bangsa Yahudi, mereka sendiri menjadi korban kekejaman,
bagaimana mereka dapat menjadi sedemikian kejam pula? … Keberhasilan terbesar
bagi Zionisme adalah de-Yahudi-isasi bangsa Yahudi. ("Professor Leibowitz
calls Israeli politics in Lebanon Judeo-Nazi" Yediot Aharonoth, July 2,
1982)
Benjamin Cohen bukanlah satu-satunya warga Israel yang menentang pendudukan Israel atas Lebanon. Banyak kalangan intelektual Yahudi yang tinggal di Israel yang mengutuk kebiadaban yang dilakukan oleh negeri mereka sendiri.
Pensikapan ini tidak hanya tertuju pada pendudukan Israel atas Lebanon. Kedzaliman Israel atas bangsa Palestina, keteguhan dalam menjalankan kebijakan penjajahan, dan hubungannya dengan lembaga-lembaga semi-fasis di bekas rejim rasis Apartheid di Afrika Selatan telah dikritik oleh banyak tokoh intelektual terkemuka di Israel selama bertahun-tahun. Kritik dari kalangan Yahudi sendiri ini tidak terbatas hanya pada berbagai kebijakan Israel, tetapi juga diarahkan pada Zionisme, ideologi resmi negara Israel.
Ini menyatakan apa yang sesungguhnya terjadi: kebijakan pendudukan Israel atas Palestina dan terorisme negara yang mereka lakukan sejak tahun 1967 hingga sekarang berpangkal dari ideologi Zionisme, dan banyak Yahudi dari seluruh dunia yang menentangnya.
Oleh karena itu, bagi umat Islam, yang hendaknya dipermasalahkan adalah bukan agama Yahudi atau bangsa Yahudi, tetapi Zionisme. Sebagaimana gerakan anti-Nazi tidak sepatutnya membenci keseluruhan masyarakat Jerman, maka seseorang yang menentang Zionisme tidak sepatutnya menyalahkan semua orang Yahudi.
Asal Mula Gagasan Rasis Zionisme
Setelah orang-orang Yahudi terusir dari Yerusalem pada tahun 70 M, mereka mulai tersebar di berbagai belahan dunia. Selama masa ‘diaspora’ ini, yang berakhir hingga abad ke-19, mayoritas masyarakat Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas kesamaan agama mereka. Sepanjang perjalanan waktu, sebagian besar orang Yahudi membaur dengan budaya setempat, di negara di mana mereka tinggal. Bahasa Hebrew hanya tertinggal sebagai bahasa suci yang digunakan dalam berdoa, sembahyang dan kitab-kitab agama mereka. Masyarakat Yahudi di Jerman mulai berbicara dalam bahasa Jerman, yang di Inggris berbicara dengan bahasa Inggris.
Benjamin Cohen bukanlah satu-satunya warga Israel yang menentang pendudukan Israel atas Lebanon. Banyak kalangan intelektual Yahudi yang tinggal di Israel yang mengutuk kebiadaban yang dilakukan oleh negeri mereka sendiri.
Pensikapan ini tidak hanya tertuju pada pendudukan Israel atas Lebanon. Kedzaliman Israel atas bangsa Palestina, keteguhan dalam menjalankan kebijakan penjajahan, dan hubungannya dengan lembaga-lembaga semi-fasis di bekas rejim rasis Apartheid di Afrika Selatan telah dikritik oleh banyak tokoh intelektual terkemuka di Israel selama bertahun-tahun. Kritik dari kalangan Yahudi sendiri ini tidak terbatas hanya pada berbagai kebijakan Israel, tetapi juga diarahkan pada Zionisme, ideologi resmi negara Israel.
Ini menyatakan apa yang sesungguhnya terjadi: kebijakan pendudukan Israel atas Palestina dan terorisme negara yang mereka lakukan sejak tahun 1967 hingga sekarang berpangkal dari ideologi Zionisme, dan banyak Yahudi dari seluruh dunia yang menentangnya.
Oleh karena itu, bagi umat Islam, yang hendaknya dipermasalahkan adalah bukan agama Yahudi atau bangsa Yahudi, tetapi Zionisme. Sebagaimana gerakan anti-Nazi tidak sepatutnya membenci keseluruhan masyarakat Jerman, maka seseorang yang menentang Zionisme tidak sepatutnya menyalahkan semua orang Yahudi.
Asal Mula Gagasan Rasis Zionisme
Setelah orang-orang Yahudi terusir dari Yerusalem pada tahun 70 M, mereka mulai tersebar di berbagai belahan dunia. Selama masa ‘diaspora’ ini, yang berakhir hingga abad ke-19, mayoritas masyarakat Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas kesamaan agama mereka. Sepanjang perjalanan waktu, sebagian besar orang Yahudi membaur dengan budaya setempat, di negara di mana mereka tinggal. Bahasa Hebrew hanya tertinggal sebagai bahasa suci yang digunakan dalam berdoa, sembahyang dan kitab-kitab agama mereka. Masyarakat Yahudi di Jerman mulai berbicara dalam bahasa Jerman, yang di Inggris berbicara dengan bahasa Inggris.
Ketika sejumlah larangan dalam hal
kemasyarakatan yang berlaku bagi kaum Yahudi di negara-negara Eropa dihapuskan
di abad ke-19, melalui emansipasi, masyarakat Yahudi mulai berasimilasi dengan
kelompok masyarakat di mana mereka tinggal. Mayoritas orang Yahudi menganggap
diri mereka sebagai sebuah ‘kelompok agamis’ dan bukan sebagai sebuah ‘ras’
atau ‘bangsa’. Mereka menganggap diri mereka sebagai masyarakat atau orang
‘Jerman Yahudi’, ‘Inggris Yahudi, atau ‘Amerika Yahudi’.
Namun, sebagaimana kita pahami, rasisme bangkit di abad ke-19. Gagasan rasis, terutama akibat pengaruh teori evolusi Darwin, tumbuh sangat subur dan mendapatkan banyak pendukung di kalangan masyarakat Barat. Zionisme muncul akibat pengaruh kuat badai rasisme yang melanda sejumlah kalangan masyarakat Yahudi.
Kalangan Yahudi yang menyebarluaskan gagasan Zionisme adalah mereka yang memiliki keyakinan agama sangat lemah. Mereka melihat “Yahudi” sebagai nama sebuah ras, dan bukan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu keyakinan agama. Mereka mengemukakan bahwa Yahudi adalah ras tersendiri yang terpisah dari bangsa-bangsa Eropa, sehingga mustahil bagi mereka untuk hidup bersama, dan oleh karenanya, mereka perlu mendirikan tanah air mereka sendiri. Orang-orang ini tidak mendasarkan diri pada pemikiran agama ketika memutuskan wilayah mana yang akan digunakan untuk mendirikan negara tersebut. Theodor Herzl, bapak pendiri Zionisme, pernah mengusulkan Uganda, dan rencananya ini dikenal dengan nama ‘Uganda Plan’. Kaum Zionis kemudian menjatuhkan pilihan mereka pada Palestina. Alasannya adalah Palestina dianggap sebagai ‘tanah air bersejarah bangsa Yahudi’, dan bukan karena nilai relijius wilayah tersebut bagi mereka.
Para pengikut Zionis berusaha keras untuk menjadikan orang-orang Yahudi lain mau menerima gagasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama mereka ini.
Namun, sebagaimana kita pahami, rasisme bangkit di abad ke-19. Gagasan rasis, terutama akibat pengaruh teori evolusi Darwin, tumbuh sangat subur dan mendapatkan banyak pendukung di kalangan masyarakat Barat. Zionisme muncul akibat pengaruh kuat badai rasisme yang melanda sejumlah kalangan masyarakat Yahudi.
Kalangan Yahudi yang menyebarluaskan gagasan Zionisme adalah mereka yang memiliki keyakinan agama sangat lemah. Mereka melihat “Yahudi” sebagai nama sebuah ras, dan bukan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu keyakinan agama. Mereka mengemukakan bahwa Yahudi adalah ras tersendiri yang terpisah dari bangsa-bangsa Eropa, sehingga mustahil bagi mereka untuk hidup bersama, dan oleh karenanya, mereka perlu mendirikan tanah air mereka sendiri. Orang-orang ini tidak mendasarkan diri pada pemikiran agama ketika memutuskan wilayah mana yang akan digunakan untuk mendirikan negara tersebut. Theodor Herzl, bapak pendiri Zionisme, pernah mengusulkan Uganda, dan rencananya ini dikenal dengan nama ‘Uganda Plan’. Kaum Zionis kemudian menjatuhkan pilihan mereka pada Palestina. Alasannya adalah Palestina dianggap sebagai ‘tanah air bersejarah bangsa Yahudi’, dan bukan karena nilai relijius wilayah tersebut bagi mereka.
Para pengikut Zionis berusaha keras untuk menjadikan orang-orang Yahudi lain mau menerima gagasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama mereka ini.
Organisasi Yahudi Dunia, yang didirikan
untuk melakukan propaganda masal, melakukan kegiatannya di negara-negara di
mana terdapat masyarakat Yahudi. Mereka mulai menyebarkan gagasan bahwa
orang-orang Yahudi tidak dapat hidup secara damai dengan bangsa-bangsa lain dan
bahwa mereka adalah suatu ‘ras’ tersendiri; dan dengan alasan ini mereka harus
pindah dan bermukim di Palestina. Sejumlah besar masyarakat Yahudi saat itu
mengabaikan seruan ini.
Dengan demikian, Zionisme telah memasuki ajang politik dunia sebagai sebuah ideologi rasis yang meyakini bahwa masyarakat Yahudi tidak seharusnya hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. Di satu sisi, gagasan keliru ini memunculkan beragam masalah serius dan tekanan terhadap masyarakat Yahudi yang hidupnya tersebar di seluruh dunia. Di sisi lain, bagi masyarakat Muslim di Timur Tengah, hal ini memunculkan kebijakan penjajahan dan pencaplokan wilayah oleh Israel, pertumpahan darah, kematian, kemiskinan dan teror.
Banyak kalangan Yahudi saat ini yang mengecam ideologi Zionisme. Rabbi Hirsch, salah seorang tokoh agamawan Yahudi terkemuka, mengatakan:
‘Zionisme berkeinginan untuk mendefinisikan masyarakat Yahudi sebagai sebuah bangsa .... ini adalah sesuatu yang menyimpang (dari ajaran agama)’. (Washington Post, October 3, 1978)
Seorang pemikir terkemuka, Roger Garaudy, menulis tentang masalah ini:
Musuh terbesar bagi agama Yahudi adalah cara berpikir nasionalis, rasis dan kolonialis dari Zionisme, yang lahir di tengah-tengah (kebangkitan) nasionalisme, rasisme dan kolonialisme Eropa abad ke-19. Cara berpikir ini, yang mengilhami semua kolonialisme Barat dan semua peperangannya melawan nasionalisme lain, adalah cara berpikir bunuh diri. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan tidak ada perdamaian di Timur Tengah kecuali jika Israel telah mengalami “de-Zionisasi” dan kembali pada agama Ibrahim, yang merupakan warisan spiritual, persaudaraan dan milik bersama dari tiga agama wahyu: Yahudi, Nasrani dan Islam. (Roger Garaudy, "Right to Reply: Reply to the Media Lynching of Abbe Pierre and Roger Garaudy", Samizdat, June 1996)
Dengan alasan ini, kita hendaknya membedakan Yahudi dengan Zionisme. Tidak setiap orang Yahudi di dunia ini adalah seorang Zionis. Kaum Zionis tulen adalah minoritas di dunia Yahudi. Selain itu, terdapat sejumlah besar orang Yahudi yang menentang tindakan kriminal Zionisme yang melanggar norma kemanusiaan. Mereka menginginkan Israel menarik diri secara serentak dari semua wilayah yang didudukinya, dan mengatakan bahwa Israel harus menjadi sebuah negara bebas di mana semua ras dan masyarakat dapat hidup bersama dan mendapatkan perlakuan yang sama, dan bukan sebagai ‘negara Yahudi’ rasis.
Kaum Muslimin telah bersikap benar dalam menentang Israel dan Zionisme. Tapi, mereka juga harus memahami dan ingat bahwa permasalahan utama bukanlah terletak pada orang Yahudi, tapi pada Zionisme.
Dengan demikian, Zionisme telah memasuki ajang politik dunia sebagai sebuah ideologi rasis yang meyakini bahwa masyarakat Yahudi tidak seharusnya hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. Di satu sisi, gagasan keliru ini memunculkan beragam masalah serius dan tekanan terhadap masyarakat Yahudi yang hidupnya tersebar di seluruh dunia. Di sisi lain, bagi masyarakat Muslim di Timur Tengah, hal ini memunculkan kebijakan penjajahan dan pencaplokan wilayah oleh Israel, pertumpahan darah, kematian, kemiskinan dan teror.
Banyak kalangan Yahudi saat ini yang mengecam ideologi Zionisme. Rabbi Hirsch, salah seorang tokoh agamawan Yahudi terkemuka, mengatakan:
‘Zionisme berkeinginan untuk mendefinisikan masyarakat Yahudi sebagai sebuah bangsa .... ini adalah sesuatu yang menyimpang (dari ajaran agama)’. (Washington Post, October 3, 1978)
Seorang pemikir terkemuka, Roger Garaudy, menulis tentang masalah ini:
Musuh terbesar bagi agama Yahudi adalah cara berpikir nasionalis, rasis dan kolonialis dari Zionisme, yang lahir di tengah-tengah (kebangkitan) nasionalisme, rasisme dan kolonialisme Eropa abad ke-19. Cara berpikir ini, yang mengilhami semua kolonialisme Barat dan semua peperangannya melawan nasionalisme lain, adalah cara berpikir bunuh diri. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan tidak ada perdamaian di Timur Tengah kecuali jika Israel telah mengalami “de-Zionisasi” dan kembali pada agama Ibrahim, yang merupakan warisan spiritual, persaudaraan dan milik bersama dari tiga agama wahyu: Yahudi, Nasrani dan Islam. (Roger Garaudy, "Right to Reply: Reply to the Media Lynching of Abbe Pierre and Roger Garaudy", Samizdat, June 1996)
Dengan alasan ini, kita hendaknya membedakan Yahudi dengan Zionisme. Tidak setiap orang Yahudi di dunia ini adalah seorang Zionis. Kaum Zionis tulen adalah minoritas di dunia Yahudi. Selain itu, terdapat sejumlah besar orang Yahudi yang menentang tindakan kriminal Zionisme yang melanggar norma kemanusiaan. Mereka menginginkan Israel menarik diri secara serentak dari semua wilayah yang didudukinya, dan mengatakan bahwa Israel harus menjadi sebuah negara bebas di mana semua ras dan masyarakat dapat hidup bersama dan mendapatkan perlakuan yang sama, dan bukan sebagai ‘negara Yahudi’ rasis.
Kaum Muslimin telah bersikap benar dalam menentang Israel dan Zionisme. Tapi, mereka juga harus memahami dan ingat bahwa permasalahan utama bukanlah terletak pada orang Yahudi, tapi pada Zionisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar